Addicted with Your Coffee

Dengan gerakan cepat aku merapikan kunciran rambutku serta memastikan poniku berada ditempat seharusnya dia berada. Sembari mengecek apakah aku perlu cuci muka sebentar atau tidak. But, there is no time. Apalagi teriakan mama semakin jadi di bawah sana. Dengan cepat aku keluar kamar dan menuruni tangga.

“Lo menganggu waktu tidur siang gue,” kataku bersedekap di hadapan orang yang menjadi alasan hebohnya aku tadi. Orang ini malah dengan santainya sedang duduk di sofa kesayangan mama.

“Ap, gue mau kopi dong,” katanya dengan nada merengek seperti anak kecil yang meminta mainan.

“Lo gila apa? Lo ganggu gue tidur siang cuman gara-gara minta buatin kopi?”

“Ap pleaseeee.”

Don’t show me your puppy eyes. It’s doesn’t make any effect to me,” dustaku padanya. “Lagian lo bisa nyuruh cewek lo kan?”

“Kopi buatan dia biasa aja Ap,” katanya lagi datar. Seolah tak mempermasalahkan bahwa ceweknya tidak bisa membuat kopi enak yang ia mau. “April pleaseeee.”

“Lo ngeselin banget. Sumpah,” kataku langsung pergi ke dapur untuk membuatkannya kopi sambil menghentakkan kaki ke lantai. Dasar Gema, gak bosan-bosannya tuh anak gangguin aku. Kalau-kalau kamu penasaran apa resep rahasia kopi buatanku. Sebenarnya gak ada resep apapun. Cuman dua sendok kopi bubuk, satu sendok gula dan setengah sendok krimer. Dulu salah satu pacar Gema, yang sekarang sudah menjadi mantan, pergi ke rumahku dan maksa minta resep kopiku. Tapi mantan Gema tersebut benar-benar tidak tahu berterima kasih. Ia malah menuduhku menabur semacam pelet buat Gema di kopi buatanku. Sinting gak tuh?

Sebenarnya penuduhan bahwa aku memasukkan pelet ke dalam kopi buatanku tak hanya dilakukan oleh satu orang. Sering sekali pacar-pacarnya menuduhku berbuat demikian sampai-sampai aku harus menyuruh Gema pura-pura menikmati kopi buatan pacarnya kalau ia masih mau menikmati kopi buatanku. Kadang aku pengen tugas aku sebagai tukang pembuat kopi untuknya berakhir. Tapi mau kayak gimana? Hanya secangkir kopi inilah yang membuat terus bersamaku.

Setelah selesai menyeduh secangkir kopi untuk Gema. Aku segera mengantarkan kopi tersebut kepadanya dengan membawa nampan kecil. Aku meletakkan cangkir tersebut dengan hati-hati di meja kaca dan ia langsung ia terlihat sangat sumringah menyambut kedatangan kopiku ini.

“Thanks Ap,” katanya mengambil cangkir kopinya, menghirup aromanya sesaat lalu menyesap kopi tersebut. Benar-benar seperti pencinta anggur yang sedang menikmati anggur kesayangannya.

Melihat dia meminum kopi buatanku dengan nikmatnya itu salah satu kebahagiaan kecilku. Aku ingat pertama kalinya ia meneguk kopi buatanku ketika kami sedang mengerjakan tugas berkelompok di rumahku. Ia langsung meneguk habis dan tersenyum sumringah. Seolah menemukan harta karun yang lama terpendam. Awalnya aku pikir ia hanya memujiku atas nama terima kasih. Toh teman-teman lain yang juga meneguk kopi buatanku bersikap biasa saja. Sampai suatu hari dia sedang kesal karena diomeli papa, dia datang ke rumahku hanya minta dibuatkan kopi! Setelah selesai meminumnya dia tersenyum lalu minta ijin tidur setengah jam di sofa ruang tamuku. Semenjak saat itu aku tahu asumsiku salah. Mungkin semenjak itu pula aku jatuh cinta padanya. Jatuh cinta kepada orang yang malah menyukai kopi buatanku. Bukannya kepadaku.

“Seharusnya waktu itu gue gak bikinin lo kopi,” kataku lalu duduk disampingnya. Lalu menolehkan kepala ke arahnya yang kebetulan juga memandangiku dengan bingung.

“Ya, kalau waktu itu gue gak bikinin lo kopi. Lo pasti gak candu dengan kopi gue kayak gini.” Aku mengangkat bahuku. Entah apa yang aku sesali. Perasaan ini atau justru kopi yang pernah aku buat untuknya yang secara tidak langsung membuat aku semakin tak bisa lepas darinya.

“Kalau gue malah bersyukur banget lo buatin gue kopi saat itu,” katanya dengan nada tenang. Lalu meneguk kopinya. Kalimat tersebut membungkam mulutku. Membuat confetti penuh warna di hati. Aku cuman bisa menghela napas. Jika perasaan ini terus naik, entah bagaimana jadinya aku nanti.

***

Katakan saja hari ini aku beruntung karena bisa dipeluk dari samping olehnya. Ah, enaknya jadi dia. Kalau tidak ada pacar kesayangannya untuk bisa dipeluk-peluk, dia bisa memelukku. Lagian mana bisa aku menolak dipeluk olehnya.

“Apasih lo peluk-peluk sembarangan,” kataku mencoba melepaskan diri. Pelukan dengannya itu gak boleh lama-lama, ntar aku bisa makin sayang sama dia. Bahaya!

“Dingin Ap,” katanya melepaskan pelukannya lalu bergelendotan dilenganku. Lucunya dia bersikap seperti kucing yang sedang bermanja ria dengan pemiliknya. Andai aku juga pemilik hatinya hahaha gak mungkin banget. Miris deh ya.

“Cepat deh kerjain pr kimia lo, gue udah mau tidur nih,” kataku lagi. Munafik juga ya aku, sebagian diriku berharap dia terus bertingkah seperti ini. parfumnya itu benar-benar memabukan! Ah, nggak apalah, kapan lagi bisa mesra-mesra kayak gini sama dia. Apalagi semenjak Gema sudah jadian dengan Dina. Tuh anak sibuknya bukan main.

“Ap?” panggilnya dengan nama panggilan kesayangnya untukku. Jika orang lain memanggilku dengan sebutan april ataupun pril. Gema malahan memanggilku dengan sebuatan Ap. Awalnya aku menolak dipanggil demikian. Seperti nama hewan peliharaan. Tapi ketika ia berkata bahwa itu adalah panggilan kesayangannya untukku aku. Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.

“Ya?”

“Lo ntar kuliah dimana?”

“Gue masih gatau Gem. Gue kepingin masuk jurusan Kedokteran Internasional UGM nih. Tapi lo tahu kan masuk jurusan disitu susah banget,” keluhku padanya yang masih menggelendot dilenganku.

“Gue pasti bisa masuk kok Ap. Lo kan pinter,” katanya memberi semangat.

“Gue gak yakin,” kataku putus asa. Mendadak ia melepaskan gelendotannya dan bersandar di sofa. Kemudian ia menegakkan badannya dan menangkupkan wajahku dengan kedua telapak tangannya yang besar namun terasa sangat nyaman. Matanya yang menatapku membuatku semakin merasa tak nyaman. Bukan karena rasa intimidasi namun karena aku semakin tidak bisa menghentikan diriku untuk mengaguminya. Duh! Aku semakin mirip seperti remaja norak yang sedang jatuh cinta.

“Lo pasti bisa. Oke?”

Aku menganggukkan kepalaku, “Lo sendiri mau masuk mana?”

“ITB Ap, Teknik Mesin dan Dirgantara,” katanya memberikan informasi yang aku tahu sejak dulu. Aku tahu jelas bahwa itu adalah obsesinya. Ia sudah melepaskan tangkupan tangannya di wajahku.

“Kita pisah dong ya,” lirihku pelan.

“Kamu kuliah di ITB atau Unpad aja. Gimana?” tanyanya mendadak. Bahkan dengan nada yang bersemangat seolah menemukan ide brilian yang dapat menyelamatan hidup orang banyak.

“Gak bisa Gem,” tegasku. Menjadi dokter itu mimpiku. Masuk jurusan kedokteran UGM adalah obsesiku. Aku memang cinta sama Gema tapi aku gak mungkin mengorbankan mimpiku demi orang yang selama ini tidak menyadari keberadaanku.

Aku baru saja mau melanjutkan perkataanku ketika handphonenya Gema berbunyi. Ia berdiri dan menjawab telpon tersebut di dekat pintu rumahku. Sementara aku mendengarkan perkataannya dari sofa ruang tamu ini.

“Kalau gitu biar gue aja yang bakal sering ke jogja,” katanya sambil berjalan menghampiriku, membereskan buku-bukunya ke dalam tas dan mengambil kunci mobilnya di atas meja. “Tadi Dina nelpon. Gue mau ke rumah dia dulu ya Ap,” katanya lagi menyebut nama gadis yang saat ini berstatus sebagai pacarnya. Lalu mengacak rambutku sebentar dan pergi melangkah keluar rumahku.

“Iya, hati-hati ya,” kataku sambil menahan emosiku untuk tidak mengeluarkan berbagai pertanyaan diotakku.

*****

Hubungan Gema dan Dina semakin hari malah kian lengket saja. Memang sih terkadang Gema masih saja datang kepadaku demi secangkir kopi. Katanya Dina sama saja seperti mantan-mantannya yang lain, mereka tidak pandai meracik kopi yang pas di lidahnya. Sementara aku melarikan diri dengan sibuk belajar. Mencari pengalihan agar otakku berhenti memikirkan Gema. Rasanya sudah cukup aku berharap bahwa kelak ia sadar kalau ia juga menyukaiku tidak hanya secangkir kopi buatanku. Ada waktu dimana kita harus berhenti berharap agar tidak tersakiti oleh harapan kosong yang kita buat sendiri.

Jadi, kali ini aku memutuskan untuk tekun belajar saja demi menjadi dokter. Aku tidak gagal masuk jurusan kedokteran dan mempelajari sesuatu yang tidak aku inginkan selama empat tahun ke depan nantinya. Lagipula ujian semakin dekat saja rasanya.

“Ap,” panggil Gema yang memutar bangku di depanku 180 derajat.

“Kenapa lo? Gak ke kantin dengan Dina?” tanyaku sekaligus menyindirnya.

“Bentar lagi. Minggu depan kan udah ujian tuh, gue tiap malam ke rumah lo ya.”

“Ha? Ngapain? Gue aja gak belajar. Mau refreshing aja,” tolakku halus. Begitulah sistem belajarku yang belajar dari jauh-jauh hari tapi tidak belajar ketika hari ujiannya.

“Buat minum kopi,” katanya lagi.

Aku memutar bola mataku ketika mendengar jawabannya. Seharusnya aku sudah bisa menebaknya. “Minta buatin sama Dina aja deh.”

“April pleaseee,” katanya menyebut namaku. For your information, aku paling lemah kalau si Gema udah manggil namaku dengan April. Aku pun menganggukkan kepala sebagai jawaban.

“Thank you Ap. Kangen juga gue udah jarang main ke rumah lo,” katanya yang membuat lidah kelu. Padahal aku sering sekali mendengar kalimat picisan seperti tadi darinya. Tapi efeknya tetap saja membuatku terdiam atau kesenangan tidak jelas. Stupid girl! Padahal tadi aku sudah menegaskan bahwa aku tidak akan berharap lagi sama Gema.

 

*****

“Heran gue. Dimana-mana orang suka lihat sunset di pantai. Nah lo di sini,” kata Gema ketika kami turun dari mobilnya dan bersandar di kap mobilnya.

Hari ini bertepatan dengan hari terakhir kami ujian, aku memaksanya untuk menemaniku. Tidak susah membujuk Gema, cukup dengan secangkir kopi ia datang ke rumahku, menikmati kopi kesayangannya dan memenuhi permintaanku.

“Gue lebih suka di sini,” jawabku sambil tersenyum.

Ini tempat favorit aku. Sebuah tanah kosong di pinggir kota yang dipenuhi oleh ilalang-ilalang yang sudah menguning. Beberapa meter di hadapanku ada sebuah sawah setinggi mata betisku dengan hijaunya yang menyejukan mata. Mungkin sebentar lagi sudah saatnya musim panen. Jika kamu menaikan arah pandanganmu, maka kamu akan melihat langit biru tdengan awan-awanya tanpa dihalangi oleh bangunan, hanya pohon-pohon menjulang tinggi. Perpaduan langit biru dan hijaunya sawah ini membuatku jatuh cinta. Mereka seakan menyatu pada suatu titik disana.

Tapi nampaknya pemandangan ini tidak terlihat menarik bagi Gema. Sedari tadi ia sibuk memainkan handphone-nya atau lebih tepatnya sibuk membalas pesan dari Sang Pacar. Membuatku semakin yakin dengan apa yang akan aku lakukan hari ini. Aku ingat ada yang pernah bilang bahwa sebenarnya sakit itu berasal dari kitanya sendiri. Tanpa kita sadari kita sendirilah yang membuat seseorang menyakiti kita, hanya karena harapan optimisme yang terlalu berlebih. Mungkin aku tidak akan sesakit ini jika sedari dulu sudah menarik diri dari Gema. Namun, alih-alih menghindar darinya, aku malah terus mengiyakan semua permintaan Gema. Bahkan tidak jarang memancingnya. Ya, mau bagaimana lagi, sepertinya aku telah candu dengan pertemuan-pertemuan kita yang dilandasi kopi. Walau aku tahu cepat atau lambat sakit itu akan datang.

“Gem setelah ini lo kemana?” tanyaku memecah keheningan. Aku membujuknya ke sini bukan untuk menikmati keheningan diantara kami.

“Gue cari bimbel di Bandung Ap sama Raka dan Adit,” jawabnya.

“Oh, udah nemu?”

“Yang ngurusin si Adit, gue mah ntar tinggal bayar aja gitu,” katanya. Tipikal Gema yang selalu malas jika berurusan dengan administrasi. “Lo?”

“Gue juga langsung ke Jogja Gem. Gue udah ngurus dari jauh-jauh hari,” kataku terdengar mantap.

Hening kembali. Ah, kenapa kami jadi awkward begini sih? Padahal seharusnya kami tertawa sama-sama atau ngelakuin hal bodoh seperti biasanya.

“Gue jatuh cinta Gem, sama seseorang,” aku menoleh ke arahnya. Mengutarakan apa yang memang akan aku lakukan hari ini. “Cinta yang cukup aneh menurut gue.”

“Siapa Ap? Teman sekolah kita?”

Aku menganggukkan kepalaku.

“Gue kenal gak?”

Aku kembali tersenyum dan menganggukkan kepalaku.

“Gue comblangin ya Ap,” katanya bersemangat.

“Gak perlu Gem.”

“Kenapa?”

Aku hanya diam saja. Ia seakan mengerti bahwa aku tidak mau membicarakannya, ia juga berkata apa-apa lagi. Hanya diam saja. Ah, terlalu banyak keheningan sore ini.

Aku memandang matahari yang mulai tenggelam secara perlahan. Menyaksikan langit mulai memancarkan warna magisnya. Ketika senja datang, langit seolah bersuka cita. Menghadirkan warna-warna yang selalu berubah tiap harinya. Warna-warna itu bersanding dengan hijaunya sawah. Seolah mereka berkata bahwa walau langit dan bumi berjauhan, mereka tetap bisa berdampingan dengan cara mereka. Tanpa sadar aku tersenyum memandangi matahari yang sudah hilang di telan bumi.

“Yuk pulang yuk Gem,” kataku langsung turun dari kap mobil dan Gema mengikutiku.

Perjalanan pulang dan perjalanan pergi sangat bertolak belakang. Aku dan Gema hanya diam tanpa ada yang berusaha untuk mengusir keheningan ini. Aku tidak berani memecah keheningan kali ini. Keberanianku hilang ketika melihat raut muka Gema yang serius. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini.

Mobil Gema pun sampai di depan rumahku. Aku menarik napas panjang.

“Gue jatuh cinta kepada lo yang menyukai kopi buatan gue,” aku diam sejenak menarik napas serta memerhatikan reaksinya.

“Lo boleh ingat tentang perkataan gue ini atau kalau lo mau lupain juga nggak masalah. Terserah lo. Maybe this is our last meeting, Gema,” kataku lagi lalu mengecup pipinya dan membuka pintu mobil.

“Gue jatuh cinta sama lo juga Ap,” katanya menarik tanganku. Aku menghela napasku. Sudah telat Gem.

“Baguslah. Selamat tinggal Gema Fakhrudin,” kataku melepaskan tanganku, keluar dari mobil lalu memasuki rumah.

Hubungan kamu dan aku memang seperti kopi yang selalu kamu sukai Gem. Pahit namun manis dengan krimernya. Memang sakit karena kamu tidak pernah menyadari keberadaanku, tapi aku selalu menyukai kebersamaan kita. Selamat tinggal Gema Fakhrudin.

The End

 

Thank you so much for reading this story, pleasee pleasee submit your comment 🙂

5 thoughts on “Addicted with Your Coffee

Leave a comment