Part 2

             “Walau ada ice creamnya ternyata masih pahit juga ya,” respon Sasa yang saat ini perdana nyobain affogato.

                 “Udah gue bilang expressonya diganti vanilla latte aja biar agak manis,” kata Gavin.

            Sementara aku sibuk menyesap mocha latte aku sambil memikirkan kejadian semalam. Kemarin malam Banyu ada ke rumah namun aku meminta adikku untuk menyuruhnya pulang. Jangan mengharapkan adegan romantis Banyu akan menungguku dengan setia di luar sampai kehujanan because that never gonna happen. Banyu pulang setelah mengucapkan kata maaf dan berkata akan memberikan aku waktu sendiri dulu lewat chat.

            Banyu

            Na, maafkan aku ya, I shouldn’t say that. Ternyata Mama suka sekali dengan warnanya. Maaf ya Na 😦

            “Kelai lagi Na? Gara-gara warna? Lo kan udah hubungi dia dulu kan kemarin?” sederet kalimat muncul dari mulut Sasa yang berhasil mengintip isi chatku. Salahku juga yang membiarkan handphone tergeletak di meja sehingga Sasa bisa membaca pop-up notification chatnya.

            “Sasa, ini privacy lho,” ujarku sedikit kesal.

            “Na, gue nggak akan sekepo ini kalau lo sekarang jadi tertutup gini. Lo tau apa alasan kenapa kita jalan sekarang? Karena gue dan Gavin perhatiin dari tadi pagi kelasnya Pak Slamet lo diam aja, bahkan setiap kita ngomongin apa lo-nya nggak dengar,” kata Sasa yang melirik Gavin dan ditanggapi oleh anggukan kepala.

            “Gue emang nggak setuju lo balikan lagi sama Banyu setelah dia selingkuhin lo tapi bukan berarti lo nggak bisa cerita sama gue kalau lo ada masalah sama Banyu. Lo masih anggap gue sahabat kan Na?” kata Sasa yang mulai drama.

            Aku menatap Sasa sambil tersenyum, “Gue takut aja ntar lo makin benci sama Banyu gara gara ini.” Tapi sasa hanya mengangkat bahunya dan menyendok ice cream affogatonya.

            “Iya gue lagi ada masalah sama Banyu, dia nggak suka dengan warna yang aku pilihkan. Maksud dia baik sih ngasi saran ke gue kalau lain kali seharusnya gue kirimkan foto ke dia tapi,” aku diam tapi dalam hitungan beberapa detik aku kembali melanjutkan kalimatku, “Gue ada tersinggung sama kalimatnya yang dia ucapkan,” akhirnya aku jujur menceritakan kejadian tempo hari.

            “See? Gimana gue nggak nge-judge kalau Banyu is totally jerk? Lo kelewat baik sama dia Na.” Aku baru saja hendak memberikan pembelaan untuk Banyu ketika Sasa bertanya, “Ada nggak dia cerita ke nyokapnya kalau kado itu lo sendiri yang beli?”

            Aku langsung meringis, “Gue sendiri yang ngaku kalau beli kadonya bareng sih, kan kasian Banyu kalau kena omel mamanya.”

            “Dan lo nggak kasian sama diri lo sendiri?”

            “Na, gue bukannya gamau ikut campur ya, cuman terkadang gue selalu ngerasa lo kelewatan pengertian sama Banyu, sekali-kali ngambek karena masalah kecil itu nggak masalah kok Na. Ya, contohnya kalau Banyu telat jemput lo, sekali-sekali ngambek kek biar dia jera,” kata Sasa sepelan mungkin. Mungkin seolah berharap jika ia mengucapkannya sepelan itu hatiku tidak akan retak mendengarnya.

            “Vin, lo risih nggak sih kalau cewek lo ngambek pas lo telat jemputnya?” tanyaku pada Gavin yang langsung kaget karena aku mendadak menanyainya.

            “Risih sih kadang…”

            Sebelum Gavin menyelesaikan kalimatnya, aku lebih dahulu berkata,”Tuh Sa, Gavin aja risih, apalagi Banyu, lagian dia telat jemput juga ada alasannya kok.”

            “Alasan apa Na? Futsal? Kerja Kelompok? Keasyikan ngumpul? Lagian Banyu itu telat jemputnya kebangetan lamanya. Tuh si Gavin ditengah kita lagi ngerjain tugas aja, minta izin mau jemput ceweknya.”

            “Iya, tapi gue nggak mau Banyu jadi kayak gitu.”

            “Itu tuh tanda cinta Kiranaaaa,” kata Sasa.

        “Lah? Emang selama ini Gavin pernah cinta sama cewek-cewek ya?” tanyaku langsung menatap Gavin.

            “Well, nggak sih…”

          “Ha? Jadi selama ini lo bilang love you, love you ke cewek-cewek lo itu bohong dong?” tanya Sasa.

            “Gue sayang sama mereka Sa, tapi sayang tanpa masa depan, both of us know kita ya nggak akan kemana mana.”

            “Gila jahat banget lo Vin.”

            Aku benaran tidak mengerti pola pikir cowok di hadapanku ini.

            “Well, mereka juga tau dan selama pacaran gue selalu behave baik, turutin kemauan mereka.”

            “Dan lo rela lakuin itu semua demi sayang tanpa masa depan lo?”

            “Na, the point why they want to be with me, supaya semua permintaan mereka yang aneh-aneh itu bisa dikabulkan. Iya kan? Supaya ada tukang antar jemput, tukang traktir makan, tukang beliin lipstik, tukang manja-manja.”

            “Trus benefit buat lo?”

         Gavin menatap kami bergiliran dan berkata, “Something you girls will never understand.”

            “Lo pernah selingkuh nggak Vin?” tanya Sasa yang menahan keinginanku untuk bertanya lagi.

            “Nggak lah, nggak sebejat itu gue,” kata Gavin santai lau kemudian ia seperti menyadari sesuatu. “Eum, maksud gue tuh… gue nggak…”

            “Na, Gavin dengan istilah dia yang cinta tanpa masa depan itu rela aja nurutin semua permintaan aneh ceweknya dan nggak akan selingkuh, pertanyaannya kenapa Banyu yang katanya sayangnya serius sama lo malah selingkuhin lo?” tanya Sasa tajam. Benar-benar seolah hatinya terbuat dari batu berkata demikian padaku. Tidakkah ia sadar bahwa aku sangat amat teramat tersinggung dengan kalimatnya?

            “Na gue tau gue udah keterlaluan ngomong kayak gini, tapi gue cuman mau nyadari lo, lo berhak buat diperlakuin semanis mungkin sama cowo lo.”

          “Vin, sekarang jawab kenapa lo nggak mau selingkuh?” tanya Sasa ke Gavin yang malah membuat aku penasaran dan entah kenapa tertarik mendengar jawabannya.

            “Karena dalam pacaran ya nggak ada namanya selingkuh,” jawabnya terlihat ragu-ragu. Aku sadar topik ini adalah topik yang cukup sensitif bagiku dan aku sangat menghargai mereka yang tidak membahas topik ini di depanku.

          “Alasan lo nonsense banget sih,” kataku padanya. Aku langsung merasa diatas awan mendengar kalimatnya Gavin. Rasanya semua cowok sama aja. Lain di mulut, lain di tindakan. Sekarang berkata tidak seminggu kemudian bisa berkata iya. Toh, lama-lama  juga Gavin akan bertingkah hal yang sama. It’s just the matter of time.

            “Lah? Yang namanya pacaran emang nggak ada selingkuh kan Na? Hanya karena lo bisa ngertiin alasan kenapa Banyu selingkuh bukan berarti semua cowok bakalan selingkuh Na.”

            Crap!

            “Na you deserve better.”

          Satu kalimat yang disebutkan berkali-kali oleh orang-orang disekitarku. Ratusan kali. Ribuan kali. Don’t they get it? Mau sejuta kali pun kalimat ini nggak akan mempan padaku.

            “But, I want him.”

           “Keras kepala banget ya, padahal gue yakin masih banyak yang lebih baik,” keluh Sasa yang entah kenapa kali ini membuat aku tertawa daripada tersinggung. Mungkin karena ia mengeluhkan sifat keras kepalaku.

            “Siapa?” tantangku pada mereka. “Siapa yang yang lebih baik itu? Coba sebutkan satu?”

            Sasa terdiam terlihat memutar kepalanya untuk menemukan nama yang bisa ia sodorkan padaku.

            “Udah deh nggak usah dipikirin, emang untuk apa sih? Buat gue jadiin selingkuhan gitu?” lanjutku sinis. Rasanya mereka tidak akan pernah mereka perasaanku. I don’t want someone else, I want Banyu. He will be better so I don’t need the another better one.

            “Nah boleh juga tuh.”

            “Duh Sa, nggak usah macam-macam deh, gue nggak mau api dibalas api. Lagian gue juga nggak mau kehilangan Banyu.”

          “Kalau gitu sama gue aja Na,” kata Gavin yang membuat Sasa bertepuk tangan. “Nah, sama Gavin aja.”

            “Dan ngebuat gue masuk dalam list korban lo? No, thanks.”

          “We are not having any affair, kita jalan seperti biasanya, toh semuanya juga udah biasa liat gue sama lo jalan bareng, cuman bedanya gue perlakuin lo kayak gue perlakuin cewek-cewek gue,” jelas Gavin.

            “Iya dan lo bisa sadar apa selama ini sikap Banyu ke lo itu pantas apa nggak,” timpal Sasa.

         “Well lo juga bisa rasain gimana rasanya jadi pacar gue,” kata Gavin seolah aku sefrustasi itu ingin tahu.

             “Gue nggak mau Vin, ini ide gila sekali.”

             “Nggak ada ruginya nyoba kan? Kan bukan selingkuh namanya,” kata Sasa.

         “Bukan selingkuh darimana sih Sa? Pokoknya gue nggak mau, kita nggak tau kedepannya ide gila ini bakal berakibat seperti apa.”

            “Nah iya, kita juga nggak tau ke depannya Banyu bakalan selingkuh lagi apa nggak,” kata Sasa menyebut ketakutan terbesarku saat ini.

           Yeah, no one can guarantee Banyu bakalan nepatin janjinya lagi apa nggak. Kalimat inilah yang selalu bergema di pikiranku. Kalimat yang tidak pernah berhenti menghantuiku.

***

            Hello guys, hope all of you like this part. Jika ada saran, typo dan juga kritik buat aku bisa kalian tulis di komen yaa. Directly to my personal chat juga boleh. Thank you! 🙂

 

Leave a comment