Part 1

“Duh gue nggak ngerti deh Na, ini mamanya Banyu yang ultah tapi kok lo yang sibuk beliin kadonya?” tanya Sasa yang saat ini sedang duduk di toko kesekian yang kami datangi. Dasar tuh anak, nggak membantu sekali sebagai kawan malah merepotkan pramuniaga untuk mengambilkan kursi plastik untuknya.

“Banyu sibuk ngerjain revisi asistensi dari dosennya Sa, toh kalau dia cepat lulus trus sukses kan, enak di aku juga,” jawabku sambil tertawa padanya. “Lagian lo bantuin pilihin dong.”

Aku kembali mengobrak-abrik baju gamis yang tergantung rapi di butik ini.  Ada satu gamis dengan corak kupu-kupu yang sederhana namun terlihat elegan. “Mbak ini ada warna apa aja ya?”

“Tinggal warna biru dan hitam mbak.”

Aku melirik ke arah Sasa. “Hitam aja deh,” katanya.

Aku menatap baju gamis yang saat ini berada di hadapanku lalu aku mengambil handphone-ku untuk menghubungi Banyu.

“Sayang, menurut kamu warna biru atau hitam? Hitamnya bagus sekali tapi mama kamu kan sukanya warna biru. Gimana yang?”

“Terserah kamu aja deh. Oh ya, nanti kamu ambil kuenya sama Sasa aja ya? Aku lagi capek mau nyetir sana sini. Tadi tugasnya banyak sekali yang.”

Sasa memandang ke arahku yang terlihat penasaran dengan isi percakapanku. “Okay, see you soon.” Banyu mengucapkan kalimat love you sebelum mengakhiri panggilan dariku.

“Seriously Na? Jadi fungsi gue di sini capek-capek cuman buat ngasi saran dan nggak di dengar gitu?”

“Sasa jangan sensi dong, gue setuju kok sama selera lo tapi ini kan seolah-olahnya kado dari kami berdua jadi Banyu juga harus ikut memutuskan dong kan?” Tapi sasa masih memasang raut cemberutnya padaku. “Nanti gue beliin brownies deh sekalian kita ambil kue bareng ya?” rayuku lagi padanya.

“Murah amat harga gue cuman dibayar pakai brownies,” kata Sasa sok jual mahal padahal aku tau banget she can’t say no to brownies. “Eh itu Gavin! Ngapain ya dia di sini? Gaviiiiiiiiin!” teriak Sasa memanggil sesosok cowok dengan kemeja jeans biru. Cowok tersebut menoleh dan menghampiri kami.

“Ngapain lo disini? Beliin kado buat gebetan lo?” tanyaku pada cowok tersebut.

“Bukan, ini gue lagi beliin kerudung titipan nyokap,” katanya sambil menenteng sebuah kerudung berwarna navy.

“Eh Vin, anterin kami ambil kue yuk? Abis itu lo anterin gue sekalian pulang ya, kan kita searah vin,” kata Sasa yang langsung mendapatkan tatapan protes dariku.

“Siapa yang ulang tahun Sa?”

“Tuh nyokapnya Banyu.”

Gavin langsung memandang ke arahku, “Lo nggak ambil kuenya sama Banyu? Kemana tuh anak?”

“Nggak hanya kue Vin, bahkan kado aja Kirana beli sendiri,”kata Sasa semakin memojokan aku.

“It’s okay kok guys, kan, kasian Banyu lagi capek abis ngerjain tugasnya. Lagian salah gue kok, dari kemarin nggak ada ngajakin dia nyari kado.”

“Itu kado nyokapnya Na, masa’ harus lo yang ingatin?”

“Namanya juga cowok, kan sering lupa sama yang namanya tanggal. Hayuk ah buruan ntar keburu malam.”

“Kelewatan pengertian lo sama dia Na,” kata Gavin yang langsung ditimpali sama Sasa.

“Antara pengertian atau bodoh karena cinta.”

***

“Sayang makasih ya kamu udah repot-repot nyiapin acara ulang tahun buat mama,” kata Banyu di tengah perjalanan kami pulang. Ia mencium pergelangan tanganku dan menggenggamnya. Kadang hal-hal kecil seperti inilah yang membuatku yakin untuk mempertahankan Banyu walau banyak yang menentang seperti Gavin dan Sasa.

“Eh tapi kayaknya warna gamisnya kurang bagus deh yang, coba kamu fotoin dulu ke aku sebelum dibeli,” kalimat Banyu. WELL, aku tarik kalimat barusan. Banyu juga paling jagonya ngajakin berantem.

“Aku kan udah telfon kamu sebelumnya Bay dan kamu bilang terserah aku aja,” balasku mencoba menahan emosi.

“Iya tapi kan aku nggak ada bilang warna apa, seharusnya kamu tuh fotoin dulu baru dibeli. Itu gunanya fitur send photo di chat kamu, hal sepele gini aja susah ya Na” kata Banyu tidak mau terima.

“Bay, kalau emang menurut kamu selera aku jelek kenapa kamu nggak ikut aku pergi beli sih?” kataku yang sudah mulai tak mampu menahan emosiku. “Kamu tahu siapa yang malah nemanin aku? Sasa! Seharusnya yang nemankan aku tuh kamu Bay.”

“Kenapa jadi marah-marahsih Na? Aku kan cuman berpendapat jadi lain kali kalau hal-hal seperti ini kejadian lagi aku udah bisa percayain kamu”

“Oh jadi next time aku harus pergi sendirian lagi lalu kirimkan foto ke kamu dan baru kamu yang mutusin beli yang mana? Bukannya hak untuk memutuskan itu seharusnya ada di aku yang udah nyempatkan waktu untuk pergi ya. Dan tolong dicatet ya,  yang punya kesibukan itu nggak cuman kamu aja, aku juga sibuk tapi aku masih sempatkan belikan mama kamu kado.”

“Jadi kamu nggak ikhlas?” Banyu melirikku tajam.

“Please jangan bahas ikhlas nggak ikhlas. This is about how you appreciate me. Kalau aku nggak ikhlas, aku tadi nggak akan berbohong di depan mama kamu, seharusnya aku ngaku aja sama mama kamu kalau anak kesayangannya nggak ikut aku pergi beli kado.”

Aku mengigit bibirku, salah satu kebiasan jelekku jika sedang menahan tangis. “You know what Bay, one word like thanks will be nice daripada kamu ngomelin aku cuman gara-gara warna yang bahkan mama kamu nggak permasalahkan sama sekali. Turunin aku disini,” kataku padanya.

Tapi Banyu tidak merespon sama sekali dan aku dapat melihat ia mencengkram erat setir kemudinya.

 

***

Hopefully you like it!

 

 

Leave a comment